Uncategorized

Kedudukan Agama dalam Perilaku Manusia

Sebagian besar manusia tidak akan melihat pada tingkat keimanan kita atau amal ibadah kita, tetapi mereka akan melihat pada perilaku atau akhlak kita. Jika akhlak kita mulia, maka orang akan melihat buah dari keimanan dan ilmu kita, karena iman yang benar akan terpancar dalam perilaku atau akhlak dan ibadah kita.  
Apabila perilaku atau akhlak kita tidak menarik di mata manusia, apalagi karena rendahnya moral yang ada di diri kita, maka mereka tidak akan melihat apakah kita ini orang yang memiliki ilmu agama atau tidak. Oleh karena itu, memiliki akhlak atau perilaku yang mulia adalah wajib atau semua orang yang beriman.
Akhlak yang mulia memiliki posisi yang penting di dalam Islam. Cukuplah Allah ta’ala memuji Rasul-Nya Muhammad di dalam Alquran dengan firman-Nya:
 وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,” (QS Al-Qalam: 4).
Budi pekerti atau akhlak atau perilaku di dalam ayat ini ditafsirkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahuanhu dan Mujahid Rahimahullah dengan “agama.” Seolah-olah melalui ayat ini Allah hendak berfirman kepada Nabi , “Kamu benar-benar berada di atas agama yang mulia, yang di dalamnya tercakup semua perilaku atau akhlak yang mulia.”
Tentang hal ini, ketika Sa’ad bin Hisyam Rahimahullah bertanya kepada Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahuanha tentang akhlak Rasulullah , maka beliau menjawab: 

“Akhlak beliau adalah Al-Quran.” 

Maksudnya, Rasulullah adalah cerminan betapa mulianya ajaran-ajaran yang ada di dalam Quran. Alhasil, setelah mendengar jawaban singkat ini dari Aisyah Radhiyallahuanha, Sa’ad bin Hisyam Rahimahullah berkata, “Jawaban ini sudah cukup untuk saya, sehingga saya tidak perlu lagi menyampaikan pertanyaan-pertanyaan lain setelah ini,” (HR Muslim dan Bukhari).
Oleh karena itu, pentingnya kedudukan perilaku yang baik di dalam Quran dan agama ini menujukkan betapa agama yang agung ini, yakni agama Islam, sangat memerhatikan masalah perilaku yang baik atau akhlakul karimah.
Allah Ta’ala menunjukkan kepada kita sebuah kaidah penting tentang akhlakul karimah atau perilaku yang baik, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya,
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh,” (QS Al-A’raaf: 199).
Para ulama berpendapat bahwa tidak ada satu pun ayat di dalam Quran yang mengandung secara komprehensif tentang perilaku baik seperti yang terdapat di dalam ayat ini. Ayat ini ditujukan untuk menjaga hubungan baik dengan mereka yang bersengketa dengan kita, atau memberi mereka yang merampas dari kita, serta memaafkan mereka yang telah berbuat buruk kepada kita. Dengan kata lain, ayat ini menuntun Rasulullah untuk memaafkan manusia dan menerima permintaan maaf dari mereka, memperlakukan mereka dengan sikap legowo, dan tidak kepo atau campur tangan terhadap urusan pribadi orang lain tanpa hak.
Beberapa ajaran moral yang terkandung di dalam ayat ini telah ditekankan oleh ayat-ayat lain di dalam Quran. Misal, firman Allah ta’ala, “Jadilah engkau pemaaf,” (QS Al-A’raaf: 199) membolehkan Rasulullah untuk mengambil dari harta manusia hanya yang lebih dari kebutuhan (ayat ini turun sebelum ada perintah zakat – penerjemah), sebagaimana disebutkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلِ ٱلۡعَفۡوَۗ …. ٢١٩
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan,” (QS Al-Baqarah: 219).
Firman Allah, “serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh,” (QS Al-A’raaf: 199) juga mendapat penguatan dari ayat lain yang di dalamnya Allah berfirman,
وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا ٦٣
“dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan,” (QS Al-Furqan: 63).
Demikianlah perilaku Rasulullah yang merupakan sosok yang paling taat terhadap ajaran-ajaran Quran. Itulah mengapa beliau layak mendapat gelar manusia yang paling baik dalam urusan perilaku atau akhlak atau moral. Anas bin Malik Radhiyallahuanhu meriwayatkan, “Belum pernah aku menyentuh sutera campuran ataupun sutera halus yang melebihi halusnya telapak tangan Rasulullah dan belum pernah pula aku mencium bau wewangian minyak kasturi dan wewangian lain yang lebih harum dari keharuman (badan) Rasulullah .” Aku melayani Rasulullah selama sembilan tahun, sama sekali tidak pernah aku dapatkan beliau menegurku dengan; ‘Kenapa kamu lakukan ini dan ini.’ Dan sama sekali beliau tidak pernah mencelaku sedikitpun,” (HR Bukhari & Muslim).
Lebih lanjut Rasulullah mendefinisikan amal saleh sebagai bagian dari moralitas, karena amal saleh adalah cara untuk meraih ketenangan hati dan pikiran. Dari sini jelas sudah bahwa agama Islam memainkan kedudukan yang sangat penting dalam pembentukan perilaku seorang muslim, bahkan akhlak merupakan tujuan dari syariat ini yang dengannya iman yang lurus bakal dicapai.
Penerjemah: Irfan Nugroho (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo)

BACA JUGA:  Mengapa Bilal bin Rabbah Hijrah ke Suriah?

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Tema Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button