Pertanyaan:
Seorang pria mengaku bahwa
dirinya memiliki kecenderungan homo atau suka kepada sesama pria. Dia
tahu ini salah, dan dia berusaha melawan kecenderungan itu. Pertanyaannya,
apakah dia boleh melakukan salat (berjamaah) di barisan pria? Atau apakah dia
harus salat terpisah dari jamaah pria seperti halnya para pria tidak boleh
salat di barisan wanita? Jazaakumullah khairan…
Jawaban oleh Fatwa
Center IslamWeb, diketuai oleh Syekh Abdullah Faqih Asy-Syinqitti
Segala puji hanya milik Allah,
Raab semesta alam. Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang hak untuk diibadahi
selain Allah, dan bahwa Muhammad ﷺ
adalah hamba dan utusanNya.
Pria itu tadi secara hukum
(Islam) tetap harus salat di barisan laki-laki karena dia memang sejatinya
laki-laki seperti yang lainnya. Meskipun dia memiliki kecenderungan
homo, hal itu bukan penghalang bagi dirinya untuk salat di barisan pria.
Jadi, karena dia tidak nyata-nyata melakukan dosa tersebut, maka dia salat
bersama barisan pria karena berbagai pertimbangan. Dia harus tahu bahwa
kemampuan dia untuk melawan dorongan dosa tersebut adalah tanda adanya kebaikan
di dalam dirinya.
Dia tidak berdosa atas adanya
dorongan atau pikiran tersebut (suka sesama jenis) selama dia tidak
melakukannya (dengan anggota badannya) seperti yang telah kami sampaikan di
fatwa nomor 85918.
Nasihat kami untuk dirinya
adalah hendaknya orang itu bertaubat (kembali) kepada Allah ta’ala dengan doa
yang tulus, dari hati yang tunduk, dan dengan harapan yang penuh khusnuzan
bahwa Allah ta’ala akan menjauhkan dirinya dari bisikan setan tersebut.
Dia harus sering-sering
memanjatkan doa kepada Allah untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan seperti
doa yang diriwayatkan di dalam hadis berikut yang merupakan salah satu dari
sekian doa/zikir pagi dan sore.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ
أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ
وَمَالِيْ اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى. اَللَّهُمَّ
احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ
شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ
تَحْتِيْ
Allahumma innii as-alukal
‘afwa wal ‘aafiyah fid dunyaa wal aakhiroh. Allahumma innii as-alukal ‘afwa wal
‘aafiyah fii diinii wa dun-yaya wa ahlii wa maalii. Allahumas-tur ‘awrootii wa
aamin row’aatii. Allahummahfazh-nii mim bayni yadayya wa min kholfii wa ‘an
yamiinii wa ‘an syimaalii wa min fawqii wa a’udzu bi ‘azhomatik an ughtala min
tahtii.
Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya
aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan hartaku.
Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang)
dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari muka,
belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku
tidak disambar dari bawahku (oleh ular atau tenggelam dalam bumi dan lain-lain
yang membuat aku jatuh),” (HR. Abu Daud: 5074 dan Ibnu Majah: 3871).
Wallahu’alam bish shawwab
Fatwa No: 357463
Tanggal: 16 Rabiul
Akhir 1439 (3 Januari 2018)
Sumber: IslamWeb.Net
Penerjemah: Irfan
Nugroho (Staf Pengajar di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran At-Taqwa Sukoharjo)