Pertanyaan:
Banyak saudara-saudara kita
yang sangat ketat dalam masalah sutrah (pembatas salat), sampai mereka menunggu
adanya sutrah jika tidak tidak didapatkannya tiang lowong (dari orang yang
salat) yang terdapat di dalam masjid. Mereka juga menyalahkan orang-orang yang
salat tanpa sutrah, sementara sebagian lainnya menganggap remeh perkara ini.
Manakah yang benar dalam
masalah ini, apakah garis dapat dijadikan sutrah jika tidak terdapat yang lain?
Adakah dalilnya?
Jawaban oleh Syekh
Abdullah bin Baaz Rahimahullah
Sutrah dalam salat merupakan
sunah muakadah, dan bukan kewajiban dan jika tidak terdapat sesuatu yang tegak,
maka garis dapat menjadi penggantinya. Dalil dari apa yang kami ucapkan adalah
hadis Rasulullah ﷺ:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ
فَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Jika salah seorang di
antara kalian salat, maka hendaklah ia salat dengan sutrah dan mendekat
kepadanya,” (HR Abu Dawud: 595, dengan Sanad yang Sahih).
Dan terdapat juga riwayat dari
Rasulullah ﷺ:
“Jika di hadapan seseorang
tidak terdapat seumpama ujung pelana (sebagai sutrah), maka salatnya akan
terputus oleh wanita, keledai, dan anjing hitam,” (HR Muslim dalam
Sahihnya).
Juga hadis Rasulullah ﷺ:
إذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ
وَجْهِهِ شَيْئًا ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ
مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
Jika salah seorang di
antara kalian salat, maka hendaknya menjadikan sesuatu berada di hadapannya,
jika tidak ada, maka tancapkanlah tongkat, jika tidak ada, maka buatlah garis,
kemudian setelah itu tidak akan merusak (salatnya) jika ada yang lewat di
depannya,” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dengan Sanad Sahih).
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar
dalam kitabnya Bulughul Maram, terdapat riwayat dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau salat terkadang-kadang tidak
menggunakan sutrah, maka hal tersebut menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah
kewajiban. Dikecualikan dalam masalah ini jika salat di Masjidil Haram, maka
bagi yang salat tidak perlu menggunakan sutrah, sebagaimana riwayat Ibnu Zubair
bahwa dia salat di Masjidil Haram tanpa menggunakan sutrah, sedangkan
orang-orang thawaf berada di depannya, begitu juga terdapat riwayat yang
disandarkan kepada Rasulullah ﷺ
yang menunjukkan hal tersebut akan tetapi dengan sanad yang lemah.
Alasan lainnya adalah karena
Masjidil haram adalah tempat yang selalu penuh sesak dan tidak mungkin
menghindari lalu lalangnya orang di depan orang yang salat, maka gugurlah
syariat sutrah sebagaimana yang telah disebutkan, hal serupa juga berlaku bagi
Masjid Nabawi pada saat penuh sesak, demikian juga tempat yang lainnya jika
penuh sesak, berdasarkan firman Allah ﷻ:
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ …١٦
“Maka bertakwalah kalian
kepada Allah menurut batas maksimal kemampuan kalian,” (QS At-Taghabun: 6).
Juga berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ:
“Jika aku memerintahkan kalian, maka lakukanlah semampu kalian,” (Muttafaq Alaih).
Sumber:
Bin Baaz, Abdul Aziz bin Abdullah. 1426 H. Fatwa-Fatwa Penting
tentang Shalat. Riyadh: Islamic Propagation in Rabwah. Hal: 42-44