Keluarga

Hukum dan Hikmah Khitan atau Sunat dalam Islam

 
Oleh Syekh Muhammad Suwaid
Kata “khitan” secara bahasa artinya “memotong kulit yang menutupi kepala penis. Sedangkan menurut istilah syari, khitan adalah memotong bulatan bagian ujung hasyafah, yaitu tempat pemotongan kulit yang menutupi kepala zakar yang juga menjadi tempat konsekuensi dari hukum syariat.
 
Ini berdasarkan hadis:
 
“Jika bertemu dua khitan (kemaluan) maka wajib mandi,” (HR Tirmizi, Ahmad, An-Nasai. Al-Albani: Sahih).
 
BACA JUGA:  Bidayatul Mutafaqih: Hal-hal yang Mewajibkan Mandi
 
Hadis-hadis tentang perintah berkhitan adalah sebagai berikut:
 
“Termasuk fitrah (kesucian) adalah berkumur, menghirup air ke dalam hidung (ketika wudu), mencukur kumis, bersiwak, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan dan berkhitan,” (HR Ahmad).
 
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Fitrah itu ada limat: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak,” (HR Bukhari & Muslim).
 
Dari Syaddad bin Aus, bahwa Rasulullah bersabda:
 
 
الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
 
“Khitan itu sunah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita,” (HR Ahmad).
 
Demikianlah kita temukan betapa besar perhatian Islam terhadap khitan bagi anak laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, khitan ini diawali setelah hari ketujuh. Ini berdasarkan hadis Jabir yang pernah berkata:
 
“Adalah Rasulullah mengakikahi Hasan dan Husain serta mengkhitan mereka pada hari ketujuh,” (HR Baihaqi).
 
Ibnu Jauzi berkata:
 
“Makruh mengkhitan pada hari kelahiran dan ketujuh, karena hal itu merupakan perilaku orang Yahudi.”
 
BACA JUGA:  Sunatan atau Khitan bagi Wanita Muslim
 
Pertama kali yang melaksanakan khitan adalah Nabi Ibrahim Alaihissalam. Beliau melakukan khitan ketika berusia 80 tahun. Ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah bahwa Ibrahim melakukan khitan ketika beliau berusia 80 tahun (HR Bukhari & Muslim).
 
Dalam riwayat yang lain terdapat tambahan, “Ibrahim adalah orang yang pertama menjamu tamu dan yang pertama mengenakan celana, serta orang pertama yang berkhitan.”
 
Selanjutnya, khitan ini telah dipraktikkan di kalangan rasul dan pengikut mereka hingga diutusnya Nabi . Dengan demikian, khitan adalah sunah para nabi dan rasul, yang terus diikuti oleh umat mereka.
 
Dari Abu Ayyub, bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Ada empat hal yang merupakan sunah para rasul, yaitu khitan, memakai minyak wangi, bersiwak dan nikah,” (HR Tirmizi dan Ahmad).
 
Ibnu Abbas pernah ditanya, “Berapa usiamu ketika Rasulullah meninggal?”
 
Ibnu Abbas menjawab, “Ketika itu saya sudah khitan, sedangkan orang-orang tidak berkhitan sampai usia mereka dewasa,” (HR Bukhari).
 
Di dalam riwayat Hakim, yang disebutkan di dalam Al-Mustadrak (3/534), Ibnu Abbas berkata:
 
“Rasulullah meninggal dan ketika itu saya berusia 15 tahun dan telah berkhitan.”
 
“Dianjurkan mengundang orang lain untuk jamuan makan ketika acara khitan, jika yang dikhitan adalah anak laki-laki, tetapi tidak demikian dengan anak perempuan demi menjaga kesucian,” (Ibnul Jauzi di dalam Al-Qawanin Al-Fiqhiyah: 314).
 
BACA JUGA:  Mengadakan Pesta Sunatan atau Walimatul Khitan dalam Islam
 
Di antara bentuk perhatian Islam yang begitu serius terhadap masalah khitan adalah, jika ada seseorang yang masuk Islam, sementara dirinya belum dikhitan, maka dia wajib berkhitan dan mandi.
 
Ini didasarkan pada hadis dari Utsaim bin Kulaib dari ayahnya, dari kakeknya bahwa dia pernah datang menghadap nabi lalu berkata:
 
“Aku masuk Islam!”
 
Kemudian Nabi bersabda:
 
“Cukurlah rambut kufur itu dan berkhitanlah,” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
 
Harb di dalam Al-Masail meriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa Rasulullah bersabda:
 
“Siapa yang masuk Islam, hendaklah dia berkhitan, sekalipun dia sudah tua.”
 
Begitu juga, karena perhatian Islam yang begitu besar terhadap masalah khitan, orang yang tidak berkhitan pun shalatnya tidak diterima.
 
(Editor: Dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Syaikh bin Baz berpendapat salatnya orang yang belum sunat adalah sah. Syaikh Abdullah Al-Faqih dari Asy-Syabakah Al-Islamiyah merinci bahwa meski tidak disunat, asal tidak ada najis, hukumnya sah; tetapi jika masih ada najis, padahal bisa dihilangkan, salatnya tidak sah.)
 
Waki meriwayatkan dari Salim, dari Amru bin haram, dari Jabir, dari Yazi, dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata:
 
“Orang yang tidak berkhitan tidak akan diterima salatnya dan tidak boleh dimakan daging sembelihannya.”
 
Ibnu Qutaibah di dalam Ta’wil Musykil Al-Quran (hal: 149) berkata, “Maksud dari firman Allah ‘Itulah sibghah Alla. Siapakah yang lebih baik sibghah-nya daripada Allah? (QS Al-Baqarah: 138)’ adalah khitan.”
 
Allah menamakan khitan dengan ‘sibghah’ (celupan) karena kaum Nasrani melakukan celupan kepada anak-anak mereka dengan air dan mengatakan bahwa hal tersebut adalah penyuci bagi mereka, sebagaimana khitan adalah penyuci bagi umat Islam.
 
Lalu Allah akhirnya berfirman, “Sibghahtallah” (Ikutilah celupan Allah!), dan jangan ikuti celupan kaum Nasrani terhadap anak-anak mereka.
 
BACA JUGA:  Tafsir Al-Baqarah 138: Makna Al Shibghah
 
Khitan masih memiliki hikmah yang lain. Khattabi berkata:
 
“Masalah khitan ini, sekalipun termasuk amalan sunah, tetapi menurut banyak ulama, khitan adalah wajib. Sebab, khitan adalah lambang syiar agama Islam. Dengan khitan ini, seorang musllim bisa dikenali dan dibedakan dari orang kafir. Jika ditemukan mayat yang berkhitan di tengah-tengah mayat lainnya yang tidak berkhitan, maka mayat yang berkhitan itu disalatkan dan dikubur di kuburan kaum muslimin.”

Irfan Nugroho

Hanya guru TPA di masjid kampung. Semoga pahala dakwah ini untuk ibunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button